Menulis?! Apakah yang terlintas dalam benak Anda jika mendengar kata menulis? Menulis dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya. Sedangkan pesan adalah isi atau muatan yang terkandung dalam tulisan. Lalu tulisan merupakan sebuah simbol atau lambang bahasa yang dapat dilihat dan disepakati pemakainya. Dengan demikian, dalam komunikasi tulis paling tidak terdapat empat unsur yang saling berkorelasi satu dengan lainnya dan tidak dapat terpisahkan.
Secara harfiah mungkin kebanyakan orang menjawab bahwasanya menulis adalah suatu aktivitas kerja sama antara pikiran atau perasaan dengan organ tubuh lain, yang pada umumnya disebut tangan. Karena tidak bisa kita pungkiri bahwa ternyata tidak sedikit pula orang yang menulis dengan menggunakan organ tubuh lainnya, seperti kaki, mulut, bahkan mata sekalipun. (True story: Jean Dominique Bauby, seorang pemimpin redaksi majalah Elle).
Akan tetapi hal yang menakjubkan di atas, ternyata bagi sebagian besar orang, ketika mendengar istilah menulis atau mengarang adalah kegiatan yang tidak menarik. Mungkin yang ada dalam benak mereka adalah suatu aktivitas terkait pada sesuatu yang menjemukan, bahkan membuat frustrasi. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah. Mengapa demikian? Selain karena kekeliruan pemahaman esensi dalam konsep menulis, pengalamannya di sekolah dalam belajar menulis mungkin tidak menyenangkan. Penyajian materi menulis dari pihak pendidik kepada peserta didiknya belum dapat dikategorikan suatu Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang mumpuni, baik dari segi waktu yang tidak kondusif atau dari pemahaman materi tentang menulis tersebut.
Maka oleh karena hal demikian, inilah saatnya kita menata ulang pemahaman yang benar tentang menulis. Sekaligus juga menata nalar yang benar dan baik. Begitu perlukah? Ya, karena miskonsepsi dan pengalaman yang kurang pas dapat menjadikan kita apriori, bahkan paranoid sehingga akhirnya tidak pernah tertarik ataupun tidak pernah melanjutkan aktivitas menulis.
Menulis sendiri sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing bagi kita. Ada dua kategori dalam menulis, yakni fiksi dan non-fiksi. Pada kategori fiksi antara lain adalah; puisi, pantun, prosa, cerpen, novel, roman, true story, flash fiction, dlsb. Sedangkan untuk kategori non-fiksi antara lain adalah; do you know, quotes, artikel, esai, laporan, makalah, skripsi, tesis, disertasi, dlsb. Tulisan-tulisan tersebut adalah bentuk dan produk bahasa tulis yang akrab dengan kehidupan kita. Tulisan-tulisan itu menyajikan secara runtut dan menarik baik ide, gagasan pemikiran serta perasaan penulisnya.
Menurut Graves (1978), seseorang enggan menulis karena tidak tahu untuk apa dia menulis, merasa tidak berbakat menulis dan merasa tidak tahu bagaimana atau dari mana memulainya sebuah tulisan. Ketidaktertarikan ini tidak terlepas dari pengaruh lingkungan keluarga dan masyarakatnya, serta pengalaman pembelajaran menulis atau mengarang di sekolah yang kurang memotivasi dan merangsang minat dan bakat.
Smith (1981) mengatakan bahwa pengalaman belajar menulis yang dialami siswa di sekolah tidak terlepas dari kondisi gurunya sendiri. Pada umumnya guru (pendidik) tidak dipersiapkan untuk terampil menulis dan mengajarkannya kepada murid (peserta didik). Karena itu, untuk menutupi keadaan yang sesungguhnya maka muncullah berbagai mitos mengerikan, paradigma berunsur stagnasi atau pendapat yang keliru tentang menulis dan metodologi pembelajarannya.
Penulis: Tubagus Rangga Efarasti
Secara harfiah mungkin kebanyakan orang menjawab bahwasanya menulis adalah suatu aktivitas kerja sama antara pikiran atau perasaan dengan organ tubuh lain, yang pada umumnya disebut tangan. Karena tidak bisa kita pungkiri bahwa ternyata tidak sedikit pula orang yang menulis dengan menggunakan organ tubuh lainnya, seperti kaki, mulut, bahkan mata sekalipun. (True story: Jean Dominique Bauby, seorang pemimpin redaksi majalah Elle).
Akan tetapi hal yang menakjubkan di atas, ternyata bagi sebagian besar orang, ketika mendengar istilah menulis atau mengarang adalah kegiatan yang tidak menarik. Mungkin yang ada dalam benak mereka adalah suatu aktivitas terkait pada sesuatu yang menjemukan, bahkan membuat frustrasi. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah. Mengapa demikian? Selain karena kekeliruan pemahaman esensi dalam konsep menulis, pengalamannya di sekolah dalam belajar menulis mungkin tidak menyenangkan. Penyajian materi menulis dari pihak pendidik kepada peserta didiknya belum dapat dikategorikan suatu Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang mumpuni, baik dari segi waktu yang tidak kondusif atau dari pemahaman materi tentang menulis tersebut.
Maka oleh karena hal demikian, inilah saatnya kita menata ulang pemahaman yang benar tentang menulis. Sekaligus juga menata nalar yang benar dan baik. Begitu perlukah? Ya, karena miskonsepsi dan pengalaman yang kurang pas dapat menjadikan kita apriori, bahkan paranoid sehingga akhirnya tidak pernah tertarik ataupun tidak pernah melanjutkan aktivitas menulis.
Menulis sendiri sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing bagi kita. Ada dua kategori dalam menulis, yakni fiksi dan non-fiksi. Pada kategori fiksi antara lain adalah; puisi, pantun, prosa, cerpen, novel, roman, true story, flash fiction, dlsb. Sedangkan untuk kategori non-fiksi antara lain adalah; do you know, quotes, artikel, esai, laporan, makalah, skripsi, tesis, disertasi, dlsb. Tulisan-tulisan tersebut adalah bentuk dan produk bahasa tulis yang akrab dengan kehidupan kita. Tulisan-tulisan itu menyajikan secara runtut dan menarik baik ide, gagasan pemikiran serta perasaan penulisnya.
Menurut Graves (1978), seseorang enggan menulis karena tidak tahu untuk apa dia menulis, merasa tidak berbakat menulis dan merasa tidak tahu bagaimana atau dari mana memulainya sebuah tulisan. Ketidaktertarikan ini tidak terlepas dari pengaruh lingkungan keluarga dan masyarakatnya, serta pengalaman pembelajaran menulis atau mengarang di sekolah yang kurang memotivasi dan merangsang minat dan bakat.
Smith (1981) mengatakan bahwa pengalaman belajar menulis yang dialami siswa di sekolah tidak terlepas dari kondisi gurunya sendiri. Pada umumnya guru (pendidik) tidak dipersiapkan untuk terampil menulis dan mengajarkannya kepada murid (peserta didik). Karena itu, untuk menutupi keadaan yang sesungguhnya maka muncullah berbagai mitos mengerikan, paradigma berunsur stagnasi atau pendapat yang keliru tentang menulis dan metodologi pembelajarannya.
Penulis: Tubagus Rangga Efarasti
Copyrights @2012 Tubagus Rangga Efarasti (Gelas Kosong). Some Rights Reserved.